Tuesday, April 27, 2010

Satu soalan Tiga Jawapan.

Tak selamanya Abu Nawas bersikap pelik. Kadang-kadang timbul kedalaman hatinya yang merupakan bukti kesufian dirinya. Bila sedang dalam kesempatan mengajar, ia akan memberikan jawapan-jawapan yang hebat sekalipun ia tetap menyampaikannya dengan ringan.

Seorang murid Abu Nawas ada yang sering mengajukan macam-macam pertanyaan. Tak jarang ia juga mempersoalkan ucapan-ucapan Abu Nawas jika sedang memperbincangkan sesuatu. Ini terjadi saat Abu Nawas menerima tiga orang tetamu yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Abu Nawas.

“Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” ujar orang yang pertama.

“Orang yang mengerjakan dosa kecil,” jawab Abu Nawas.

“Mengapa begitu,” kata orang pertama mengejar.

“Sebab dosa kecil lebih mudah diampuni oleh Allah,” ujar Abu Nawas. Orang pertama itupun terangguk-angguk sangat puas dengan jawapan Abu Nawas.

Giliran orang kedua maju. Ia ternyata mengajukan pertanyaan yang sama, “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Yang utama adalah orang yang tidak mengerjakan keduanya,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa demikian?” tanya orang kedua lagi.

“Dengan tidak mengerjakan keduanya, tentu pengampunan Allah sudah tidak diperlukan lagi,” ujar Abu Nawas santai. Orang kedua itupun angguk-angguk menerima jawapan Abu Nawas dalam hatinya.

Orang ketiga pun maju, pertanyaannya pun sama seperti pemuda berdua tadi. “Manakah yang lebih utama, orang yang mengerjakan dosa-dosa besar atau orang yang mengerjakan dosa-dosa kecil?” tanyanya.

“Orang yang mengerjakan dosa besar lebih utama,” ujar Abu Nawas.

“Mengapa bisa begitu?” tanya orang ktiga itu lagi.

“Sebab pengampunan Allah kepada hamba-Nya sebanding dengan besarnya dosa hamba-Nya,” ujar Abu Nawas. Orang ketiga itupun merasa puas dengan perbincangan tersebut. Ketiga orang itupun lalu berganjak pergi.

***

Si murid yang suka bertanya mendengar kejadian itu terus bertanya. “Mengapa pertanyaan yang sama bisa menghasilkan tiga jawapan yang berbeza,” katanya tidak mengerti.

Abu Nawas tersenyum. “Manusia itu terbagi kepada tiga tingkatan, tingkatan mata, tingkatan otak dan tingkatan hati,” jawab Abu Nawas.

“Apakah tingkatan mata itu?” tanya si murid.

“Seorang anak kecil yang melihat bintang di langit, ia akan menyebut bintang itu kecil karena itulah yang nampak dimatanya,” jawab Abu Nawas memberi perumpamaan.

“Lalu apakah tingkatan otak itu?” tanya si murid lagi.

“Orang pandai yang melihat bintang di langit, ia akan mengatakan bahawa bintang itu besar karena ia memiliki pengetahuan,” jawab Abu Nawas.

“Dan apakah tingkatan hati itu?” Tanya si murid lagi.

“Orang pandai dan paham yang melihat bintang di langit, ia akan tetap mengatakan bahawa bintang itu kecil sekalipun ia tahu yang sebenarnya bintang itu besar, sebab baginya tak ada satupun di dunia ini yang lebih besar dari Allah SWT,” jawab Abu Nawas sambil tersenyum.

Si murid pun mafhum. Ia lalu mengerti mengapa satu pertanyaan bisa mendatangkan jawaban yang berbeda-beda. Tapi si murid itu bertanya lagi.

“Wahai guruku, mungkinkah manusia itu menipu Tuhan?” tanyanya.

“Mungkin,” jawab Abu Nawas santai menerima pertanyaan aneh itu.

“Bagaimana caranya?” tanya si murid lagi.

“Manusia bisa menipu Tuhan dengan merayu-Nya melalui pujian dan doa,” ujar Abu Nawas.

“Kalau begitu, ajarilah aku doa itu, wahai guru,” ujar si murid antusias.

“Doa itu adalah, “Ialahi lastu lil firdausi ahla, Wala Aqwa alannaril Jahimi, fahabli taubatan waghfir dzunubi, fa innaka ghafiruz dzambil adzimi.” (Wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni surga, tapi aku tidak kuat menahan panasnya api neraka. Sebab itulah terimalah tobatku dan ampunilah segala dosa-dosaku, sesungguhnya Kau lah Dzat yang mengampuni dosa-dosa besar).

p/s : sama-samalah kita mengambil pengajaran daripada cerita ini. semoga hidup
kita diatas dunia ini sentiasa mendapat rahmat dan keberkatan dari
ILAHI..insyaAllah..

Friday, April 9, 2010

Saya dah bertunang..!

Hari-hari berlalu yang dilewati seakan sudah bertahun lamanya, namun yang perlu diakui ialah ianya baru beberapa minggu lalu. Iya, hanya beberapa minggu lalu. Berita itu aku sambut dengan hati yang diusahakan untuk berlapang dada. Benar, aku berusaha berlapang dada. Terkadang, terasa nusrah Ilahi begitu hampir saat kita benar-benar berada di tepi tebing, tunggu saat untuk menjunam jatuh ke dalam gaung. Maha Suci Allah yang terus memimpin untukku melangkah dengan tabah.

Aku hanya seorang Insyirah. Tiada kelebihan yang teristimewa, tidak juga punya apa-apa yang begitu menonjol. Jalan ku juga dua kaki, lihat ku juga menggunakan mata, sama seperti manusia lain yang menumpang di bumi Allah ini. Aku tidak buta, tidak juga tuli mahupun bisu. Aku bisa melihat dengan sepasang mata pinjaman Allah, aku bisa mendengar dengan sepasang telinga pinjaman Allah juga aku bisa bercakap dengan lidahku yang lembut tidak bertulang. Sama seperti manusia lain.

Aku bukan seperti bondanya Syeikh Qadir al-Jailani, aku juga tidak sehebat srikandi Sayyidah Khadijah dalam berbakti, aku bukan sebaik Sayyidah Fatimah yang setia menjadi pengiring ayahanda dalam setiap langkah perjuangan memartabatkan Islam. Aku hanya seorang Insyirah yang sedang mengembara di bumi Tuhan, jalanku kelak juga sama... Negeri Barzakh, insya Allah. Destinasi aku juga sama seperti kalian, Negeri Abadi. Tiada keraguan dalam perkara ini.

Sejak dari hari istimewa tersebut, ramai sahabiah yang memuji wajahku berseri dan mereka yakin benar aku sudah dikhitbah apabila melihat kedua tangan ku memakai cincin di jari manis. Aku hanya tersenyum, tidak mengiyakan dan tidak pula menidakkan. Diam ku bukan membuka pintu-pintu soalan yang maha banyak, tetapi diam ku kerana aku belum mampu memperkenalkan insan itu. Sehingga kini, aku tetap setia dalam penantian.

Ibu bertanyakan soalan yang sewajarnya aku jawab dengan penuh tatasusila.

"Hari menikah nanti nak pakai baju warna apa?"

Aku menjawab tenang.. "Warna putih, bersih..."

"Alhamdulillah, ibu akan usahakan dalam tempoh terdekat."

"Ibu, 4 meter sudah cukup untuk sepasang jubah. Jangan berlebihan."

Ibu angguk perlahan.

Beberapa hari ini, aku menyelak satu per satu... helaian demi helaian naskhah yang begitu menyentuh nubari aku sebagai hamba Allah. Malam Pertama... Sukar sekali aku ungkapkan perasaan yang bersarang, mahu saja aku menangis semahunya tetapi sudah aku ikrarkan, biarlah Allah juga yang menetapkan tarikhnya kerana aku akan sabar menanti hari bahagia tersebut. Mudah-mudahan aku terus melangkah tanpa menoleh ke belakang lagi. Mudah-mudahan ya Allah.

Sejak hari pertunangan itu, aku semakin banyak mengulang al-Quran. Aku mahu sebelum tibanya hari yang aku nantikan itu, aku sudah khatam al-Quran, setidak-tidaknya nanti hatiku akan tenang dengan kalamullah yang sudah meresap ke dalam darah yang mengalir dalam tubuh. Mudah-mudahan aku tenang... As-Syifa' aku adalah al-Quran, yang setia menemani dalam resah aku menanti. Benar, aku sedang memujuk gelora hati. Mahu pecah jantung menanti detik pernikahan tersebut, begini rasanya orang-orang yang mendahului.

"Kak Insyirah, siapa tunang akak? Mesti hebat orangnya. Kacak tak?"

Aku tersenyum, mengulum sendiri setiap rasa yang singgah. Maaf, aku masih mahu merahsiakan tentang perkara itu. Cukup mereka membuat penilaian sendiri bahawa aku sudah bertunang, kebenarannya itu antara aku dan keluarga.

"Insya Allah, 'dia' tiada rupa tetapi sangat mendekatkan akak dengan Allah. Itu yang paling utama."

Berita itu juga buat beberapa orang menjauhkan diri dariku. Kata mereka, aku senyapkan sesuatu yang perlu diraikan. Aku tersenyum lagi.

"Jangan lupa jemput ana di hari menikahnya, jangan lupa!"

Aku hanya tersenyum entah sekian kalinya. Apa yang mampu aku zahirkan ialah senyuman dan terus tersenyum. Mereka mengandai aku sedang berbahagia apabila sudah dikhitbahkan dengan 'dia' yang mendekatkan aku dengan Allah. Sahabiah juga merasa kehilangan ku apabila setiap waktu terluang aku habiskan masa dengan as-Syifa' ku al-Quran, tidak lain kerana aku mahu kalamullah meresap dalam darahku, agar ketenangan akan menyelinap dalam setiap derap nafas ku menanti hari itu.

"Bila enti menikah?"

Aku tiada jawapan khusus.

"Insya Allah, tiba waktunya nanti enti akan tahu..." Aku masih menyimpan tarikh keramat itu, bukan aku sengaja tetapi memang benar aku sendiri tidak tahu bila tarikhnya.

"Jemput ana tau!" Khalilah tersenyum megah.

"Kalau enti tak datang pun ana tak berkecil hati, doakan ana banyak-banyak!" Itu saja pesanku. Aku juga tidak tahu di mana mahu melangsungkan pernikahan ku, aduh semuanya menjadi tanda tanya sendiri. Diam dan terus berdiam membuatkan ramai insan berkecil hati.

"Insya Allah, kalian PASTI akan tahu bila sampai waktunya nanti..."

Rahsia ku adalah rahsia Allah, kerana itu aku tidak mampu memberikan tarikhnya. Cuma, hanya termampu aku menyiapkan diri sebaiknya. Untung aku dilamar dan dikhitbah dahulu tanpa menikah secara terkejut seperti orang lain. Semuanya aku sedaya upaya siapkan, baju menikahnya, dan aku katakan sekali lagi kepada ibu...

"Usah berlebihan ya..."

Ibu angguk perlahan dan terus berlalu, hilang dari pandangan mata.

"Insyirah, jom makan!"

Aku tersenyum lagi... Akhir-akhir ini aku begitu pemurah dengan senyuman.

"Tafaddal, ana puasa."

Sahabiah juga semakin galak mengusik.

"Wah, Insyirah diet ya. Maklumlah hari bahagia dah dekat... Tarikhnya tak tetap lagi ke?"

"Bukan diet, mahu mengosongkan perut. Maaf, tarikhnya belum ditetapkan lagi."

Sehingga kini, aku tidak tahu bila tarikhnya yang pasti. Maafkan aku sahabat, bersabarlah menanti hari tersebut. Aku juga menanti dengan penuh debaran, moga aku bersedia untuk hari pernikahan tersebut dan terus mengecap bahagia sepanjang alam berumahtangga kelak. Doakan aku, itu sahaja.

.......................................

"innalillahi wainna ilaihi rajiun..."

"Tenangnya... Subhanallah. Allahuakbar."

"Ya Allah, tenangnya..."

"Moga Allah memberkatinya...."

Allah, itu suara sahabat-sahabat ku, teman-teman seperjuangan aku pada ibu.

Akhirnya, aku selamat dinikahkan setelah sabar dalam penantian. Sahabiah ramai yang datang di majlis walimah walaupun aku tidak menjemput sendiri.

Akhirnya, mereka ketahui sosok 'dia' yang mendekatkan aku kepada Allah.
Akhirnya, mereka kenali sosok 'dia' yang aku rahsiakan dari pengetahuan umum.
Akhirnya, mereka sama-sama mengambil 'ibrah dari sosok 'dia' yang mengkhitbah ku.

Dalam sedar tidak sedar...

Hampir setiap malam sebelum menjelang hari pernikahan ku... Sentiasa ada suara sayu yang menangis sendu di hening malam, dalam sujud, dalam rafa'nya pada Rabbi, dalam sembahnya pada Ilahi. Sayup-sayup hatinya merintih. Air matanya mengalir deras, hanya Tuhan yang tahu.

"Ya Allah, telah Engkau tunangkan aku tidak lain dengan 'dia' yang mendekatkan dengan Engkau. Yang menyedarkan aku untuk selalu berpuasa, yang menyedarkan aku tentang dunia sementara, yang menyedarkan aku tentang alam akhirat. Engkau satukan kami dalam majlis yang Engkau redhai, aku hamba Mu yang tak punya apa-apa selain Engkau sebagai sandaran harapan. Engkau maha mengetahui apa yang tidak aku ketahui..."

Akhirnya, Khalilah bertanya kepada ibu beberapa minggu kemudian...

"Insyirah bertunang dengan siapa, mak cik?"

Ibu tenang menjawab... "Dengan kematian wahai anakku. Kanser tulang yang mulanya hanya pada tulang belakang sudah merebak dengan cepat pada tangan, kaki juga otaknya. Kata doktor, Insyirah hanya punya beberapa minggu sahaja sebelum kansernya membunuh."

"Allahuakbar..." Terduduk Khalilah mendengar, air matanya tak mampu ditahan.

"Buku yang sering dibacanya itu, malam pertama..."

Ibu angguk, tersenyum lembut... "Ini nak, bukunya." Senaskah buku bertukar tangan, karangan Dr 'Aidh Abdullah al-Qarni tertera tajuk 'Malam Pertama di Alam Kubur'.

"Ya Allah, patut la Insyirah selalu menangis... Khalilah tak tahu mak cik."

"Dan sejak dari hari 'khitbah' tersebut, selalu Insyirah mahu berpuasa. Katanya mahu mengosongkan perut, mudah untuk dimandikan..."

Khalilah masih kaku. Tiada suara yang terlontar. Matanya basah menatap kalam dari diari Insyirah yang diberikan oleh ibu.

"Satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku di risik oleh MAUT. Dan satu cincin ini aku pakai sebagai tanda aku sudah bertunang dengan MAUT. Dan aku akan sabar menanti tarikhnya dengan mendekatkan diri ku kepada ALLAH. Aku tahu ibu akan tenang menghadapinya, kerana ibuku bernama Ummu Sulaim, baginya anak adalah pinjaman dari ALLAH yang perlu dipulangkan apabila ALLAH meminta. Dan ibu mengambil 'ibrah bukan dari namanya (Ummu Sulaim) malah akhlaqnya sekali. Ummu Sulaim, seteguh dan setabah hati seorang ibu."

* Kisah ini adalah kisah KITA (semua yang sedang membaca/tak) *

Bertunang dengan kematian, tidak tahu bila kita akan dinikahkan dan tidak tahu bagaimana rezeki di malam pertama. Tetapi, sekurang-kurangnya apabila sudah dirisik dan bertunang, kita sama-sama akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya walaupun bukan yang terbaik untuk hari pernikahan dengan KEMATIAN. Wallahua'lam.

Cukuplah kematian itu mengingatkan kita... Cukuplah kita sedar kita akan berpisah dengan segala nikmat dunia. Cukuplah kita sedar bahawa ada hari yang lebih kekal, oleh itu sentiasalah berwaspada. Bimbang menikah tergesa-gesa, tahu-tahu sudah disanding dan diarak seluruh kampung walau hanya dengan sehelai kain putih tak berharga.

Setidak-tidaknya, Insyirah (watak di atas) sudah 'membeli' baju pernikahannya... Arh... Untungnya Insyirah. (Cemburu! Cemburu! Cemburu!)

Kullu nafsin za'iqatul maut

Thursday, April 8, 2010

Peringatan dari Al-Qur`an

Hubungan lelaki dan wanita diperjelaskan di dalam Al Quran

[1]Wahai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhan kamu yang telah menjadikan kamu (bermula) dari diri yang satu (Adam) dan yang menjadikan daripada (Adam) itu pasangannya (isterinya iaitu Hawa) dan juga yang membiakkan dari keduanya zuriat keturunan, lelaki dan perempuan yang ramai dan bertakwalah kepada Allah yang kamu selalu meminta dengan menyebut-nyebut namaNya, serta peliharalah hubungan (silaturahim) kaum kerabat; kerana sesungguhnya Allah sentiasa memerhati (mengawas) kamu.
Annisa: 1

[3] Dan jika kamu takut tidak berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (apabila kamu berkahwin dengan mereka), maka berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu berkenan dari perempuan-perempuan (lain): Dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu bimbang tidak akan berlaku adil (di antara isteri-isteri kamu) maka (berkahwinlah dengan) seorang sahaja atau (pakailah) hamba-hamba perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman
Annisa : 3

[4] Dan berikanlah kepada perempuan-perempuan itu mas kahwin mereka sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika mereka dengan suka hatinya memberikan kepada kamu sebahagian dari mas kahwinnya maka makanlah (gunakanlah) pemberian (yang halal) itu sebagai nikmat yang lazat, lagi baik kesudahannya
Annisa : 4